Rahmatan Lil Alamin

Senin, 29 Oktober 2018

ZALLATUL ‘ALIM: Menyikapi Ketergelinciran Pendapat Ulama


 
Dalam Islam, seorang Ahli Ilmu—terkhusus dalam disiplin ilmu syar’i—memiliki level kehormatan yang cukup tinggi. Di Negara ini, mereka mendapat julukan Kyai, Gus, tuan Guru, dan sebagainya. Dengan kedudukannya itu, masyarakat memandang bahwa merekalah tokoh-tokoh Islam yang diaggap paling menguasai pelbagai ilmu syariat di bidang akidah, akhlak, fikih, dan sebagainya. Mereka diyakini memiliki daya nalar yang kuat, mampu menganalisis dan mengistimbath hukum dari dalil-dalilnya.

Orang-orang yang disebut Ahlul Ilmi telah mencapai derajat pewaris nabi, waratsatul anbiya’i. mereka yang digadang-gadang oleh umat sebagai tokoh-tokoh yang akan melanjutkan tugas penting para Nabi zaman dahulu; mendakwahkan Islam hingga masyarakat terbebas dari pekatnya dunia kejahiliyahan.

Posisi Ahli Ilmu atau ulama yang sebegitu penting menjadi alasan utama mengapa masyarakat Muslim harus menaruh takzim dan selalu hormat kepada mereka. Bentuk penghormatan tersebut biasanya diwujudkan dengan selalu meniru perilaku, menjadikan rujukan tempat bertanya seputar persoalan yang membutuhkan penyelesaian hukum syar’i (fatwa), meminta nasehat, mencium tangan saat bertemu, bahkan sampai pada tingkatan mengambil berkah. Dalam keyakinan masyarakat awam, pokoknya apa yang dikatakan oleh ulama/kyai/Ahli Ilmu harus didengar dan dilaksanakan, sendhiko dhawuh.

Saking besarnya rasa takzim masyarakat terhadap seorang Ahlul Ilmi, menjadikan mereka lupa terhadap fitrah dasar seorang Ahlul Ilmi sebagai manusia biasa. Ahlul Ilmi juga berpotensi untuk melakukan kekeliruan baik sengaja ataupun tidak disengaja. Sebab, lupa dan membuat kesalahan adalah bagian dari fitrah manusia. Manusia tidak memiliki fitrah berupa kemaksuman sebagaimana sifat nabi.

Kekeliruan atau kesalahan di bidang penyimpulan hukum yang dilakukan oleh seorang ulama/Ahlul Ilmi dalam khazanah fikih Islam dikenal dengan istilah zallatul ‘alim. Ketergelinciran seorang Ahli Ilmu. Maksud ketergelinciran di sini adalah sebuah kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh seorang ulama/Ahli Ilmu dalam ranah penyimpulan atau istinbath hukum syar’i. ketergelinciran seorang Ahli Ilmu bisa terjadi dalam bentuk perkataan atau pernyataan, atau bisa juga berbentuk sikap.

Ibnul Qayyim mengatakan,

إِنَّ الْعَالِمَ قَدْ يَزَلُّ وَلَا بُدَّ إِذْ لَيْسَ بِمَعْصُوْمٍ

“Ada kalanya seorang Ahli Ilmu itu tergelincir/keliru, dan itu adalah keniscayaan, sebab Ahli Ilmu bukanlah orang yang terbebas dari dosa dan kesalahan.” (I’lamul Muwaqi’in, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, 3/453)

Fenomena zallatul ‘alim yang menimpa seorang Ahli Ilmu ini ternyata sampai mengantarkan masyarakat untuk bersikap ekstrim dalam meresponnya. Sebagian kalangan memandang ketergelinciran seorang Ahli Ilmu adalah cela yang luar biasa. Sehingga, dengan terjadinya ketergelinciran tersebut seolah-olah menyapu bersih segala ilmu, jerih payah pembinaan umat, usaha dakwah, dan seluruh kebaikannya kepada umat.


Sikap ekstrim pada ujung satunya lagi ditunjukkan dengan bersikap acuh terhadap kenyataan ketergelinciran seorang ulama yang menjadi panutan mereka. Sikap ta’ashub yang berlebihan menjadikan mereka taklid secara membabi buta. Sehingga meskipun ulama panutannya melakukan sebuah ketergelinciran, tanpa ba bi bu tetap pasang badan membelanya mati-matian. Sudah tahu itu sebuah zallat, namun tetap saja dibela dan dianggap benar.

Untuk menghindari dua sikap ekstrim seperti di atas, selayaknya seorang Muslim benar-benar memahami bagaimana manhaj Ahlu Sunnah dalam menyikapi fenomena zallatul ‘alim yang berpotensi menimpa Ahli Ilmu di manapun mereka berada.

Al-Ushaimi dalam karyanya yang berjudul al-Khilaf Anwa’uhu wa Dhawabituhu wa Kaifa Ta’amul Ma’ahu memaparkan penjelasan yang cukup memahamkan tentang cara menyikapi fenomena zallatul ‘alim.

CEK INFORMASI


Arus penyebaran informasi saat ini boleh dibilang sangatlah liar. Potensi untuk mengubah dan memodifikasi informasi di tengah jalan sangat mungkin terjadi. Tentu peluang ini memberikan efek kurang baik bagi ranah penyebaran dakwah Islam. Sebuah pernyataan seorang ulama bisa saja dimodifikasi oleh tangan-tangan jahil sehingga pernyataan A berubah menjadi B.

Sebuah pendapat Ahli Ilmu yang kita terima baik melalui tulisan berupa teks atau nukilan, atau berupa penyampaian verbal hendaknya diteliti terlebih dahulu. Dengan meneliti setiap informasi yang datang (tatsabbut), semoga pernyataan yang tadinya memuat pendapat miring seorang Ahli Ilmu dapat terverifikasi apakah benar-benar pendapat miring/zallat atau ternyata pernyataan itu adalah modifikasi dalam rangka menjatuhkan kredibilitas Ahli Ilmu yang bersangkutan. Jika informasi tersebut ternyata adalah informasi yang dhaif, maka tak perlu diambil atau dishare kembali.

Syaikh Ibnu Taimiyah mengatakan, “Bagi orang yang telah dilapangkan dadanya untuk menerima Islam, jika sampai kepadanya pendapat salah seorang Ahli Ilmu yang status riwayatnya dhaif, jangan sampai ia sampaikan kepada orang-orang yang bertaklid kepada Ahli Ilmu tersebut. Sebaiknya ia diam hingga benar-benar yakin atas kebenaran pendapat tersebut, ia cukup bersikap tawaquf. Betapa banyak pendapat yang tersebar atas nama seorang Ahli Ilmu namun kenyataannya adalah bukan pendapatnya.” (Al-Fatawa al-Kubra, Ibnu Taimiyah, 6/95)

JANGAN DISHARE

Jika anda menerima atau mendapati sebuah fenomena ketergelinciran seorang ulama dalam sebuah kasus (zallatul ‘alim), tak perlu anda share kepada siapapun. Langkah ini diambil dalam rangka menghindari dampak negatif dan kerusakan besar/mafsadat yang bakal timbul jika kasus ketergelinciran ulama tersebut tersebar luas.

Ibrahim an-Nakha’i mengatakan,

لَا تُحَدِّثُوا النَّاسَ بِزَلَّةِ الْعَالِمِ، فَإِنَّ الْعَالِمَ يَزَلُّ ثُمَّ يَتْرُكُهَا

“Jangan kalian sebar kasus tergelincirnya seorang Ahli Ilmu, karena pada hakikatnya seorang Ahli Ilmu itu jika saja tergelincir ia akan meninggalkan ketergelincirannya.” (Ihya’ Ulumid Din, Al-Ghazali, 2/183)

Menyikapi kasus zallatul ‘alim, al-Ghazali menyatakan bahwa siapapun yang mengetahui seorang Ahli Ilmu yang pendapatnya tergelincir/keliru, baginya haram untuk menyebarkan kasus itu karena dua alasan; pertama, menyebarkannya adalah bentuk ghibah; kedua, menyebarkannya justru akan membesar-besarkan kasus itu sehingga berimbas pada terkikisnya sikap takzim dan hormat umat kepada Ahli Ilmu yang bersangkutan.” (Ihya’ Ulumid Din, Al-Ghazali, 2/231)

Dengan tidak menyebarkan kasus zallat yang dilakukan oleh seorang Ahli Ilmu tersebut telah membantu dalam menekan dan meminimalisir timbulnya kerusakan besar sebagai dampak pennyebaran kasus tersebut. Jika yang dilakukan adalah sebaliknya, penyebaran informasi kasus ketergelinciran pendapat seorang Ahli Ilmu akan membuka lebar pintu fitnah di tengah masyarakat dan menyeruaknya kemaksiatan dengan dalih adanya legitimasi dari seorang Ahli Ilmu untuk mempraktikkan pendapat tersebut.

Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Para ulama mengibaratkan fenomena zallatul ‘alim dengan pecahnya sebuah kapal; jika kapal itu tenggelam, maka akan tenggelam apapun yang ada di kapal itu.” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhluhu, 2/982)

JANGAN IKUTI KESALAHANNYA


Jika anda menemui sebuah pendapat Ahli Ilmu yang sudah jelas-jelas itu adalah bagian dari zallatul ‘alim, ya jangan diikuti. Jauhi pendapat tersebut, dan jangan sampai orang lain juga terjebak untuk mengamalkannya. Dengan tetap meletakkan hormat dan takzim terhadap Ahli Ilmu tersebut.

Al-Auza’i pernah menyampaikan pengalamannya tentang menyikapi fenomena zallatul ‘alim yang dilakukkan oleh beberapa ulama. Dia mengatakan, “Kami menjauhi lima pendapat ulama ahlul Iraq dan lima pendapat ulama ahlul Hijaz. Lima pendapat ulama ahlul Iraq tersebut adalah: Meminum minuman yang memabukkan, bolehnya makan saat terbit fajar di bulan Ramadhan, tidak ada kewajiban shalat Jumat bagi tujuh penduduk, bolehnya mengakhirkan shalat Ashar hingga panjang bayangan empat kali lipatnya, dan melarikan diri dari hadapan musuh. Sedangkan lima pendapat ulama ahli Hijaz adalah: Mendengarkan lahwun, bolehnya jamak dua shalat tanpa uzur, bolehnya nikah Mut’ah, menukar satu dirham dengan dua dirham dan menukar satu dinar dengan dua dinar secara kontan, bolehnya menggauli istri melalui duburnya.” (As-Sunan al-Kubra, no. 20920, 10/356)

TAK BOLEH MENJADIKANNYA SEBAGAI PENDAPAT KHILAFIYAH


Jika memang sudah jelas sebuah pernyataan terbukti sebagai kasus zallatul ‘alim, maka tak boleh menjadikan dan menganggapnya sebagai sebuah pendapat khilafiyah yang disandingkan dengan pendapat-pendapat lain hasil ijtihad para ulama. Sebab, pada hakikatnya, pernyataan hasil dari zallatul ‘alim bukanlah terhitung sebagai ijtihad.

Zallatul ‘alim tidak sah sebagai sebuah ijtihad. Status pernyataan hasil zallat tersebut bukanlah pendapat yang layak disandingkan dengan pendapat hasil ijtihad ulama Mujtahid. Imam asy-Syathibi memberikan mencerahan yang cukup menarik tentang ini dalam buku beliau al-Muwafaqat.

HUKUM YANG DIBANGUN DI ATAS ZALLAT HARUS DICABUT

Jika ada seorang Qadhi yang memutuskan sebuah hukum dalam sebuah permasalahan yang di dalamnya ternyata ia melakukan zallat/ketergelinciran, atau memutuskan hukum yang dibangun di atas pendapat syadz yang diyakini oleh para ulama lain sebagai sebuah kasus zallat, maka hukum ini harus dicabut dan tidak diberlakukan. Sebab keputusan hukum tersebut sudah tentu menyelisihi nash-nash yang qath’i atau Ijmak atau Qiyas Jali. Kaedahnya, setiap hukum yang menyelisihi nash qath’i, atau Ijmak, atau Qiyas Jali, maka wajib dibatalkan/dicabut.


Imam Al-Qarafi mengatakan, “Setiap fatwa yang diputuskan oleh seorang Mujtahid hal mana keputusan fatwa tersebut ternyata keluar dan menyelisihi Ijmak, atau kaedah, atau nash, atau qiyas Jali yang rajih, maka tidak boleh bagi pengikutnya untuk mempublikasikannya kepada khalayak dan berfatwa dengan pendapat tersebut. Karena sesungguhnya meskipun hakim menggunakan kesimpulan hukum tersebut, kami tetap akan membatalkannya.”

Lebih lanjut beliau menjelaskan, “Hukum yang belum kami tetapkan secara syar’i meskipun telah ditetapkan oleh seorang hakim lebih utama untuk tidak kami tetapkan secara syar’i jika belum diverifikasi. Karena hukum ini belum diverifikasi, maka kami tidak menetapkannya. Fatwa yang dibangun tidak secara syar’i adalah haram. Maka berfatwa dengan hukum tersebut juga haram.” (Al-Furuq, Imam Al-Qarafi, 2/205, Syarh al-Kaukab al Munir, 4/505-506) Wallahu a’lam. [Shodiq/Majalah Fikih Isam Hujjah]
 
Source: https://www.dakwah.id/zallatul-alim

Pengertian Syariat Islam yang Perlu Anda Pahami dengan Baik

 
Kata syariat yang sering kita dengar dalam keseharian baik ketika membaca buku, mendengar rekaman ceramah para ustadz, menyimak pengajian, kultum, ataupun khutbah adalah kata berbahasa arab yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online (KBBI daring), syariat adalah hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis. Bentuk kata tidak bakunya: sarengat, sariat, sereat, syariah.

Sebagai sebuah khas agama, istilah syariat selalu identik dengan teologi Islam. Seperti kalimat, Al-Quran adalah sumber pertama dari syariat Islam. Meskipun sebenarnya istilah ini sudah ada sejak sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, namun di lingkungan masyarakat Indonesia istilah syariat lebih populer identik dengan Islam.

Untuk mendapatkan definisi lebih jelas tentang makna syariat dalam Islam, maka kita perlu merujuk kepada kamus literatur bahasa Arab.

Syariat berasal dari kata dasar sya-ra-‘a (شَرَعَ – يَشْرعُ) yang artinya memulai, mengawali, memasuki, memahami. Atau diartikan juga dengan membuat peraturan, undang-undang, syariat. Syar’un (شَرْع) dan syir’atan (شِرْعَة) memiliki arti yang sama: ajaran, undang-undang, hukum, piagam.

Ibnu Manzhur berkata: “Syari’at, syara’, dan musyarra’ah adalah tempat-tempat di mana air mengalir turun ke dalamnya. Syir’ah dan syari’ah dalam percakapan bangsa Arab memiliki pengertian syir’atul ma’, yaitu sumber air, tempat berkumpulnya air, yang didatangi manusia lalu mereka meminum airnya dan mengambil airnya untuk minum…. Bangsa Arab tidak menamakan tempat-tempat berkumpulnya air tersebut syari’at sampai air tersebut banyak, terus mengalir tiada putusnya, jelas dan bening, dan airnya diambil tanpa perlu menggunakan tali.” (Lisanul ‘Arab, 8/174)

Masih dalam tinjauan etimologi, syariat juga diartikan dengan mazhab atau ath-Thariqah al-Mustaqimah: metode yang lurus. (Al-Mukhtar min Shihhatil Lughah, 265; Al-Madkhal li Dirasati asy-Syari’ah, Abdul Karim Zaidan, 38)


KATA SYARIAT DALAM AL-QURAN


Ternyata, kata syariat juga terdapat dalam al-Quran. Dalam al-Quran, kata syariat baik berbentuk kata kerja (verb), kata benda, ataupun kata sifat terdapat dalam beberapa ayat.

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu)…” (QS. Al-Jatsiyah: 18)

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS. Al-Maidah: 48)

إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا

“…ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu…” (QS. Al-A’raf: 163)

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu…” (QS. Asy-Syura: 13)

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syura: 21)


SYARIAT + ISLAM


Dalam khazanah ilmiah Islam, para Ulama mendefinisikan istilah syariat Islam dengan kalimat yang cukup beragam. Imam Al-Qurthubi mendefinisikan syariat Islam sebagai agama yang Allah syariatkan kepada hamba-hamba-Nya.” (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 19/154)

Ibnu Taimiyah mendefinisikan syariat Islam sebagai menaati Allah, menaati Rasul-Nya, dan para pemimpin dari kalangan kita (orang-orang beriman). Pada hakekatnya syariat adalah menaati para rasul dan berada di bawah ketaatan kepada mereka. (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, 19/309)


Imam Ibnu Atsir Al-Jazari menitikberatkan definisi Syara’ dan syariat kepada agama yang Allah syariatkan atas hamba-hamba-Nya, yaitu agama yang Allah tetapkan bagi mereka dan Allah wajibkan atas diri mereka. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 2/460)

Sementara Dr. Umar bin Sulaiman Al-Asyqar mengungkapkan definisi yang lebih rinci bahwa syariat adalah hukum-hukum yang Allah tetapkan di dalam kitab-Nya atau datang kepada kita melalui jalan rasul-Nya di dalam sunnah beliau, tidak ada bedanya apakah hukum-hukum tersebut dalam bidang akidah, amal, ataupun akhlak.” (Al-Madkhal ila Asy-Syari’ah wa Al-Fiqh Al-Islami, 14)

Doktor Athiyah Fayyadh dalam tulisannya yang berjudul Kaidah dan Neraca dalam Memahami Syariat dan Filsafatnya membagi terminologi syariat ke dalam dua definisi:

Pertama, Syariat dalam makna umum

Menurut Athiyah Fayyadh, dari segi makna umum, syariat adalah seluruh hukum-hukum yang dibebankan Allah ‘azza wajalla kepada hamba-Nya yang telah dijelaskan kepada mereka dalam wahyu-Nya dan oleh lisan rasul-Nya.

Definisi ini beliau simpulkan melalui hasil penelitian (Istiqra’) terhadap beberapa definisi yang telah dijelaskan oleh para Ulama seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Manna’ Qathan, dan Abdul Karim Zaidan.

Keluasan cakupan definisi syariat yang menjangkau seluruh aktivitas manusia (akidah, moral, ibadah, pekerjaan, politik, hukum, kekuasaan, dan warisan atau pemberian) ini mengindikasikan bahwa syariat itu adalah sempurna dan dengan sumber yang sudah jelas-jelas valid; firman Allah ‘azza wajalla dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh sebab itu, Syaikh Abdul Karim Zaidan menyebut syariat sebagai padanan dari kata al-Millah dan kata ad-Diin. Hukum-hukum yang disyariatkan Allah ‘azza wajalla adalah sebagai syariat dari segi sumber, deskripsi, dan kelurusannya, dan disebut ad-Diin dari segi kepada siapa ketundukan dan peribadatan ditujukan, dan disebut al-Millah dari segi perintah pelaksanaannya bagi manusia.


Kedua, Syariat dalam makna khusus

Sebagian ulama menggunakan istilah syariat secara lebih khusus yang hanya mencakup makna sebagian saja dari hukum-hukum syar’i karena sebab dan kebutuhan tertentu.

Ada ulama yang menggunakan istilah syariat untuk dihadapkan dengan istilah akidah (al-Aqidah) sehingga dalam konteks tersebut definisi syariat bergeser sedikit menjadi hukum-hukum fisik (al-Ahkam al-‘Amaliyah) dan definisi akidah menjadi persoalan-persoalan keyakinan (al-I’tiqad) dan iman (al-Iman).

Contoh penggunaan definisi ini adalah nama kitab yang ditulis oleh syaikh Syaltut, “Al-Islam ‘Aqidatan wa syari’atan”. Dalam buku tersebut, Syaikh Syaltut mendefinisikan syariat sebagai aturan (nidzam) yang disyariatkan oleh Allah ‘azza wajalla sebagai sebuah aturan untuk dirinya dalam merawat hubungan antara diri manusia dengan Rabbnya, hubungan manusia dengan saudara sesama muslim, hubungan manusia dengan sesama manusia (non-muslim), hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan kehidupan.

Selain itu, ada pula yang menggunakan istilah syariat untuk dihadapkan dengan istilah fikih (Al-Fiqh) sehingga dalam konteks ini syariat didefinisikan dengan hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah ‘azza wajalla, sementara fikih bermakna hukum hasil ijtihad para mujtahid. Definisi seperti ini digunakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah (Asy-Syar’u al-Mu’awwalu).

Istilah syariat juga digunakan oleh sebagian ulama dalam definisi sebagai hukum-hukum yang sumbernya adalah wahyu, ketika istilah syariat ini dihadapkan dengan istilah Qanun dimana dalam konteks ini Qanun didefinisikan sebagai hukum-hukum yang dibuat oleh manusia dan diterapkan untuk diri mereka pula.

Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (19/309) menjabarkan dengan kalimat yang cukup menarik tentang hakikat syariat,

لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَخْرُجَ عَنْ الشَّرِيعَةِ فِي شَيْءٍ مِنْ أُمُورِهِ بَلْ كُلُّ مَا يَصْلُحُ لَهُ فَهُوَ فِي الشَّرْعِ مِنْ أُصُولِهِ وَفُرُوعِهِ وَأَحْوَالِهِ وَأَعْمَالِهِ وَسِيَاسَتِهِ وَمُعَامَلَتِهِ وَغَيْرِ ذَلِكَ

“Manusia tidak lepas dari syariat dalam urusan apapun sepanjang kehidupannya, bahkan setiap hal yang mengantarkannya kepada kebaikan semua ada dalam syariat. Mulai dari perkara ushul, perkara furu’, persoalan kehidupan, pekerjaan, politik, muamalah, dan lainnya.” (Shodiq/dakwah.id)
 
Source: https://www.dakwah.id/pengertian-syariat-islam

Ilmu & DakwahSejarah Ulama Umat yang Diam Terhadap Kesesatan: Sebuah Pelajaran dari Syaikh Al-Ibrahimi

 
Kekuatan dan kekuasaan (otoritas) memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap fisik dan jiwa manusia. Pengaruh terkuat, paling dominan, dan paling luas adalah terhadap jiwa. Sebab, penguasaan terhadap fisik itu ditempuh melalui perasaan takut dimana itu akan cepat hilang. Sedangkan penguasaan terhadap jiwa pintunya melalui hasrat (perasaan senang) yang digerakkan oleh qanaah dan ikhtiar.

Pada dasarnya, ulama umat Islam juga memiliki kekuasaan terhadap jiwa manusia. Kekuasaan atas jiwa tersebut berasal dari spiritualitas agama Islam dan kemudahan akses ke dalam diri manusia (nufus); tunduk kepada ulama dengan penuh kerelaan dan hasrat (rasa senang), ketundukan yang bersifat fitrah tanpa beban dengan membawa perasaan bahwa ulama umat Islam adalah sosok rujukan (marja’) dalam mendapatkan pencerahan agama. Lisan ulama adalah sumber narasi yang menyingkap hakikat kebenaran dan penjelas syariat.

Ulama adalah sosok penjaga yang amanah. Ulama adalah pewaris nabi yang sebenarnya. Ulama telah berhasil menghimpun tanggung jawab mandat penjelasan persoalan peribadatan dan mandat penetapan persoalan hukum-hukum muamalat. Berbeda dengan para khalifah yang—sama sekali tidak dibebani memikul tanggung jawab ini—hanya bertanggung jawab untuk mengimplementasikan putusan ulama yang mengandung nilai kemaslahatan baik dalam ruang lingkup pergaulan individu ataupun sosial kemasyarakatan.

Suasana posisi kekuasaan dan otoritas ulama umat yang tampak jelas seperti ini hanya dapat dilihat di kala para ulama betul-betul teguh berpijak di atas al-Quran dan as-Sunah. Mereka berjalan sesuai dengan petunjuk keduanya dan berhenti pada batas-batas ketentuan keduanya. Mereka tegakkan kewajiban amar makruf nahi munkar, dan umat pun tidak akan menemukan jalan kecuali dengan petunjuk al-quran dan as-sunah.

Posisi kekuasaan dan otoritas mereka tetap berjalan seperti ini hingga era khalifah. Lisan mereka masih tajam dalam memberikan kritikan dan cacat kepada setiap orang yang menyimpang dari jalan lurus yang telah digariskan agama. Tidak membeda-bedakan siapa pun pelakunya.


Pendapat mereka dijadikan rujukan dalam setiap permasalahan, baik dalam urusan dunia maupun agama. Tidak terkecuali para khalifah saat itu, seperti Muawiyah dan sebagainya. Mereka semua mengakui keabsahan kekuasaan tak terbatas yang dimiliki para ulama sebagai penolong dalam menegakkan kebaikan dan perbaikan. Mereka tidak akan berani menetapkan suatu keputusan tanpa melibatkan para ulama.

Para penguasa yang otoriter sekalipun tak berani mendahului para ulama umat ini. Sebab, mereka sadar betul bahwa ulama umat berkuasa di atas kekuasaan mereka. Namun, mereka mulai mengadakan manuver dan langkah-langkah untuk melemahkan para ulama. Terkadang dengan metode tebar pesona untuk mengangkat pamornya, atau dengan berpura-pura baik di hadapan mereka. Tapi kadang juga menggunakan cara kasar, konfrontasi terbuka dan sengaja melanggar peraturan sebagai bentuk nyata pembangkangan.


Otoritas Ulama Umat di Atas Penguasa: Pelajaran dari Zaman Muawiyah

Dahulu Muawiyah mengangkat anaknya sebagai putra mahkota, dan memaksa seluruh rakyat untuk berbaiat kepadanya, baik dengan cara keras maupun lunak sehingga ia berhasil mewujudkan keinginannya. Namun begitu ia masih memandang baiat ini masih seperti sandiwara, selama ‘Ubadalah (Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Amru bin al-Ash radhiyallahu ‘anhum) dan Hasan belum mau berbaiat kepadanya.

Penyebab utamanya adalah mereka memiliki kapabilitas keilmuan yang tidak bisa dianggap enteng. Selain itu, mereka juga memiliki tempat khusus di hati umat Islam. Oleh karena itu, Muawiyah memutar haluan dengan menggunakan siasat yang didukung pedang.

Hal yang sama juga dipraktikkan oleh anak-anak Marwan. Setiap kali ada ulama yang abseen dari baiat serupa, sebagaimana nasib yang dialami oleh Said bin Musayyib. Praktik semacam ini masih berjalan di kalangan para penguasa diktator selama para ulama masih memiliki hak berkuasa dalam ruang lingkup yang tak terbatas. Hingga suatu hari dimana urusan ini beralih ke tangan generasi lain, yaitu ketika kekuasaan jatuh ke tangan para amir, panglima, dan tentara. Di sisi lain, kekuasaan ini lepas dari genggaman para ulama umat dan khalifah secara bersamaan.

Seakan ini mengisyaratkan sebuah hukuman bagi para khalifah yang berani melonjak, juga sebagai hukuman bagi para ulama umat yang rela mundur dari jabatan kekuasaan tak terbatas.

Selain praktik semacam ini terjadi dalam urusan baiat, ini juga terjadi dalam semua permasalahan lain yang diperebutkan oleh kedua penguasa ini.

Walaupun kondisinya seperti ini, para ulama umat masih tetap dalam posisi sebagai representasi dari kebenaran hakiki. Merekalah yang memegang kendali umat yang hakiki di tempat yang tak tersentuh oleh kekuasaan pemerintah yang semu.


Mereka masih terjaga dan siaga menghadapi setiap peristiwa yang dihadapi umat Islam. Setiap kali mereka menemukan bayangan hantu bid’ah, dengan sigap mereka langsung menepisnya. Setiap kali mereka merasa ada kesesatan dan kemunkaran dalam agama, dengan cepat mereka mengubahnya dengan perkataan dan perbuatan.

Saking hati-hatinya, mereka menyikapi dosa kecil seperti dosa besar. Mereka tidak terlalu gampang memberikan rukhshah; keringanan hukum. Langkah ini mereka lakukan sebagai bentuk antisipasi untuk menutup semua pintu yang menjurus kepada perbuatan bid’ah dan kesesatan dalam agama. Mereka selalu bersikap dengan landasan al-Quran dan as-Sunah.


Ulama Umat dan Fitnah Perpecahan antar Mazhab

Dengan demikian, landasan berpikir mereka adalah dalil yang tidak mungkin menyesatkan; mereka bersandar pada hujah yang tak terbantahkan. Maka sudah sepantasnya jika seluruh umat memilih mereka sebagai rujukan untuk tempat bernaung sehingga lahirlah kesatuan beragama yang sama sekali tidak bisa dipecah belah, dan tidak berbeda-beda pendapat. Sampai ketika mereka terkena fitnah perpecahan antar mazhab, baik yang berhubungan dengan permasalahan prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya. Fanatisme mazhab inilah yang menutupi kebenaran bagi mereka.

Dampaknya, secara umum, umat Islam memandang mereka tidak seperti sebelumnya, ketika mereka bersatu di bawah bendera agama. Persatuan yang menjamin keutuhan eksistensi mereka di dunia, menjaga keutuhan ilmu, dan menjamin keselamatan mereka dari perbedaan yang hanya dilandasi aspek kepentingan dan keuntungan masing-masing. Ujung-ujungnya akan menyeret mereka ke dalam perpecahan yang berakibat kerusakan parah yang harus mereka tanggung.

Inilah penyebab lemahnya kekuasaan yang mereka miliki, sampai akhirnya kekuasaan ini pun diperjualbelikan di antara para penguasa jahat dan zalim serta komandan jahat dan bodoh. Mereka bersatu di atas satu tujuan, yaitu menindas orang awam. Mereka bersekongkol sehingga terbentuk duet maut yang menebar malapetaka bagi umat.


Upaya Penguasa dalam Menjatuhkan Otoritas Ulama Umat


Para penguasa senantiasa membuat makar untuk menjauhkan kedudukan para ulama—setelah sekian lama—dari posisi sebagai pemimpin spiritual umat Islam. Kemudian mereka menggantinya dengan aktor-aktor baru yang dapat mereka dikte untuk menipu orang awam. Mereka nobatkan tokoh-tokoh dengan memberinya topeng agama supaya bisa menarik simpati umat karena kebesaran namanya.

Padahal, sejatinya mereka adalah orang-orang yang tidak merasa membutuhkan ilmu karena memang bukan ahlinya. Mereka meminta bantuan dari para penguasa untuk mendukung kekuatannya. Sehingga kedua belah pihak bersepakat untuk saling berbagi rekomendasi dan keuntungan demi kepentingan masing-masing dengan syarat harus mendiamkan setiap kemunkaran yang terjadi.

Artinya, ulama umat menyesatkan penguasa, dan sebaliknya, penguasa merendahkan ulama. Sejatinya, penyesatan dalam urusan agama merupakan sarana menuju kehinaan di dunia. Umat pun akhirnya terninabobokkan dengan tepukan atas nama agama, dengan kebodohan yang dihiasi, dengan menjauhkan ilmu, dengan sesuatu yang katanya mendekatkan jalan mereka ke surga padahal hakikatnya tidak, tapi justru menjauhkannya dengan perbuatan-perbuatan bid’ah.

Dalam hal ini, para ulama umat lalai, mereka lelap dalam tidur panjang yang jauh lebih lama daripada tidurnya Ashabul Kahfi. Ketika mereka membuka mata, mereka dihadapkan pada agama baru yang bukan merupakan agama sebelumnya. Lalu mereka poles agama tersebut agar terlihat samar di mata umat, sampai mereka mau mengikutinya. Padahal, para ulama tersebut tak lain hanyalah para pengikut dan pengekor penguasa, meskipun sebelumnya mereka menjadi panutan umat.

Sebagai bukti, mereka menjadi pemberi label dan rekomendasi syar’i bagi para penguasa. Mereka memberikan kesaksian bahwa para pejabat itu adalah orang-orang yang sempurna dan mulia. Termasuk mereka berikan legalitas syar’i kepada para pelaku bid’ah yang menobatkan diri mereka sebagai ulil mari yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Tentu dengan makna yang mereka selewengkan dari makna sebenarnya yang digunakan dalam agama.

Tidak cukup sampai di situ, bahkan mereka berani lancang menyematkan sifat-sifat ketuhanan yang hanya layak dimiliki Allah ‘azza wajalla kepada mereka.

Para penguasa pembuat bid’ah Uluhiyah semacam ini menyadari kecerobohan para ulama yang sangat berambisi mengejar keuntungan dunia yang hina. Mereka juga memahami bahwa para ulama akan terjerumus dalam kelezatan makanan “kotor”. Maka mereka tuntun ulama itu dengan tali kekang di tangan mereka. Lalu mereka menyadari bahwa para ulama telah setuju dengan kehinaan dan kerendahan yang diberikan kepada dirinya. Maka, mereka berusaha untuk mengangkat citra dan pamor mereka dengan jalan membuat silau pandangan manusia terhadap mereka. Dalam hal ini, para ulama sendiri yang menghinakan dirinya sehingga dengan mudah mereka dapat dihinakan dan direndahkan martabatnya.

Jadilah para ulama umat itu sebagai pengikut penguasa yang paling rendah dan hina. Mereka berguguran di depan meja jamuan yang dipersiapkan penguasa. Maka tak perlu heran jika dengan sukarela mereka menuruti kehendak penguasa hingga dalam permasalahan yang bersifat syahwat yang paling hina. Mereka memberikan kesaksian palsu dan rekomendasi atas nama agama bagi para penguasa. Mereka halalkan kelezatan yang telah Allah ‘azza wajalla haramkan. Sudah lama minuman itu campur, tapi yang tersisa di tempayan hanyalah ampasnya.


Sebuah Pelajaran Tentang Ulama Tunisia

Dalam kondisi separah inilah kita mendapati zaman kita dan para pelakunya. Beberapa tahun lalu, di jalan Manarah, Tunisia, aku melihat dengan mata kepalaku, seorang ulama yang sangat dihormati di kalangan ulama Universitas Zaitunah, membungkukkan badan untuk mencium tangan seorang penyeleweng agama dan pembuat bid’ah yang sombong. Sekiranya aku diberi wewenang menilainya, kusebut ia sebagai budaknya. Dari situlah aku baru melihat langsung bagaimana seorang ulama menjadi cela bagi ilmunya. Dalam benakku terbesit syair al-Mutanabbi,


وقد هام قوم بأصنامهم

فأمـا بزق رياح فلا

Suatu kaum jatuh cinta pada berhalanya,

Tapi tidak pada bau busuknya

Jatuhlah kehormatan ulama tersebut dalam penilaianku. Aku tidak akan menyebut kebaikannya ketika masih hidup, dan tidak sudi menyebutnya sebagai almarhum sepeninggalnya. Kematiannya juga tidak kuanggap—seperti ulama lainnya—sebagai kerugian bagi Islam!

Allah ‘azza wajalla tidak akan pernah berbuat zalim kepada para ulama, tetapi mereka sendirilah yang telah menzalimi diri mereka. Mereka sama sekali tidak tahu terima kasih atas nikmat ilmu yang mereka dapatkan. Maka Allah ‘azza wajalla merampas kembali buah dari ilmu tersebut, yaitu kemuliaan, kekuasaan, keimamahan, dan kepemimpinan.

Kekosongan dalam ranah kekuasaan yang seharusnya dikendalikan oleh para ulama ini berakibat fatal terhadap akidah dan akhlak umat Islam. Di antaranya terjebaknya umat Islam secara sistemik ke dalam pengaruh kekuasaan para pembuat kesesatan yang sama sekali tidak memberikan petunjuk, bahkan menyesatkan. Mereka menyesatkan umat dari jalan yang lurus.

Mereka juga menyebarkan penyakit-penyakit mematikan kepada umat Islam. Di antara penyakit yang paling membahayakan umat adalah penjajahan, yang mendapatkan tunggangan dan toleransi dari ulama semacam itu hingga dapat mencapai tujuannya yang busuk terhadap Islam dan umat Islam.

Sekiranya para ulama umat itu adalah para komandan, yang memiliki jiwa dan perasaan yang hidup seperti para pendahulu yang memiliki tekad kuat dan lurus, niscaya para penjajah akan menghadapi benteng kokoh di bumi bagian barat maupun timur yang tak terkalahkan.

Demi Allah ‘azza wajalla, kewibawaan para ulama umat Islam tidak akan diperoleh kembali sampai mereka mau melaksanakan Janji Allah ‘azza wajalla dalam menjelaskan kebenaran.

Mereka harus bersatu dalam memerangi segala macam bentuk bid’ah dan kesesatan yang telah menyelimuti keyakinan, moral, dan agama seluruh umat Islam sehingga menciptakan jurang yang memisahkan antara hakikat Islam yang sebenarnya dari pikiran umat, dan sehingga tampak jelas di mata umat wujud asli harta karun ilmu pengetahuan yang terkubur dalam al-Quran kitab yang senantiasa dijunjung tinggi oleh manusia, serta aturan-aturan yang sudah pasti kebenaran, kebaikan, dan kesempurnaannya dalam tersirat dalam riwayat hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika saja mereka semua mau bersatu, bangkit mengingatkan umat, dan berusaha menjatuhkan musuh Islam sebagaimana mereka menjatuhkan umat ini dengan serangan bertubi-tubi melalui berbagai macam bid’ah dan kesesatan yang dilancarkan untuk merusak moral umat Islam, melemahkan kewibawaan dan tekad dalam jiwa mereka, mengalihkan mereka dari fitrah, jika para ulama umat melakukan itu semua (serangan balik semacam itu), maka mereka akan mampu mengembalikan kekuatan, kesempurnaan, keindahan, cahaya Islam, dan kewibawaan mereka sebagai kaum muslimin, serta kehormatan mereka di sepanjang lembaran sejarah. (shodiq/dakwah.id/Atsaru al-Imam Muhammad al-Basyir al-Ibrahimi, ‘Uyunul Bashair, 308-3011)
 
Source: https://www.dakwah.id/ulama-yang-diam-terhadap-kesesatan

Fikih Prioritas: Amalan Mana yang Harus Didahulukan?

 
Fikih Prioritas: Amalan Mana yang Harus Didahulukan? — Hampir setiap kali bulan Ramadhan, shaf masjid penuh sesak dengan jamaah yang ingin melaksanakan shalat tarawih. Namun di bulan yang sama, masjid sepi di selain shalat Isya dan tarawih.

Setiap tahun, selalu terdengar cerita ada beberapa jamaah Haji yang berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan Haji yang kedua kalinya. Di waktu yang sama, ada lembaga-lembaga dakwah dan pendidikan yang pontang-panting mencari donasi. Atau, tetangganya yang miskin dan butuh pembiayaan dibiarkan begitu saja.

Setiap musim Umrah, terdengar informasi satu keluarga rame-rame pergi ke tanah suci untuk melaksanakan ‘ibadah sunnah’ Umrah yang ke sekian kalinya. Padahal, keluarga tersebut sama sekali belum pernah melaksanakan ‘ibadah wajib’ Haji.

Di tempat lain, seorang aktivis sibuk berbisnis menggemukkan pundi hartanya, sementara jamaah amal jama’i di mana ia aktif di dalamnya sedang ditimpa krisis finansial sementara dirinya sama sekali tak bergeming. Kasus lain, tak sedikit aktivis yang terjangkit kebiasaan mementingkan urusan pribadi dari kewajibannya di dalam jamaah amal jama’i.

Beberapa kasus di atas adalah nyata terjadi di kalangan masyarakat muslim. Kasus di atas mewakili banyak kasus yang merepresentasikan tingkat pemahaman masyarakat muslim terhadap ilmu Islam terutama fikih prioritas.

Dalam melaksanakan perintah Allah ‘azza wajalla, setiap muslim dituntut untuk melaksanakan perintah-perintah tersebut secara proporsional. Artinya, ketika Allah ‘azza wajalla memerintahkan suatu amalan yang tingkat hukumnya berbeda, maka setiap muslim semestinya lebih mendahulukan amalan yang posisi hukumnya paling tinggi. Inilah gambaran praktis soal fikih prioritas. Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Fiqh al-Aulawiyat.

MEMPRIORITASKAN PERSOALAN USHUL DARI PERSOALAN FURU’

Sudah semestinya setiap muslim lebih mendahulukan memahami persoalan-persoalan ushul dari persoalan-persoalan furu’. Seperti persoalan iman dan tauhid kepada Allah ‘azza wajalla, iman kepada malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Quran.

Allah ‘azza wajalla berfirman,

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)


MEMPRIORITASKAN AMALAN FARDHU DARI AMALAN SUNAH DAN NAFILAH


Dalam kaidah fikih prioritas, perintah Allah ‘azza wajalla yang berupa pelaksanaan amalan yang hukumnya lebih wajib harus didahulukan dari amalan wajib. Amalan yang hukumnya wajib harus didahulukan dari amalan yang hukumnya mustahab.

Sikap bermudah-mudah (at-Tasahul) ditempatkan pada amalan mustahab dan sunnah, bukan pada amalan yang hukumnya fardhu dan wajib. Lebih menekankan diri untuk melaksanakan amalan-amalan fardhu yang pokok seperti shalat dan zakat dimana amalan fardhu ini disampaikan Allah‘azza wajalla secara saling terkait sebanyak 28 kali dalam al-Quran dan ditambah dukungan argumentasi dari banyak hadits shahih, ketimbang berpayah-payah pada amalan sunah hingga lalai pada amalan wajib.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Islam dibangun di atas lima pilar; syahadat laa ilaaha illallah, dan mendirikan shalat, menunaikan zakat, shiyam Ramadhan, dan Haji ke Baitullah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Maka, termasuk sikap keliru yang biasa dijumpai dalam masyarakat adalah lebih sibuk dengan amalan sunah namun melalaikan amalan wajib seperti shalat, shiyam, dan Haji. Rajin melaksanakan Qiyamullail dan shalat tarawih tapi bermalas-malasan melaksanakan shalat wajib lima waktu secara berjamaah di masjid. ini keliru.

Banyak didapati muslim yang begitu semangat mengamalkan shaum senin-kamis, namun merasa lelah dan bermalas-malasan untuk bekerja mencari nafkah sebagai kewajibannya sebagai suami. Ini keliru. Sebab, shaum senin-kamis adalah amalan sunnah sedangkan bekerja mencari nafkah adalah amalan wajib.

Termasuk di dalamnya, seorang muslim yang memiliki harta lebih, sudah menunaikan kewajiban ibadah Haji, namun ia berangkat lagi ke tanah suci untuk melaksanakan Haji yang kedua kali, sementara di sekeliling tempat tinggalnya terdapat fakir miskin yang membutuhkan harta, atau terdapat lembaga sosial yang membutuhkan bantuan harta.

Maka ini adalah tindakan yang keliru; pelaksanaan ibadah Hajinya yang kedua adalah sunnah, sedangkan menolong fakir miskin dan lembaga sosial yang sangat membutuhkan adalah wajib.


MEMPRIORITASKAN AMALAN FARDHU ‘AIN DARI AMALAN FARDHU KIFAYAH


Fardhu ‘ain adalah hukum fardhu yang dibebankan kepada setiap muslim. Fardhu kifayah adalah hukum fardhu yang dibebanan kepada setiap muslim jika belum ada muslim yang menunaikannya, jika telah ada muslim yang menunaikannya, maka gugur kewajiban tersebut dari diri setiap muslim.

Sebagaimana amalan yang hukumnya fardhu harus diprioritaskan dari amalan yang hukumnya sunnah dan tathawwu’, maka amalan yang hukumnya fardhu ‘ain harus diprioritaskan dari amalan yang hukumnya fardhu kifayah.

Contoh kasus, ketika dalam satu kondisi hukum jihad adalah fardhu kifayah, maka birrul walidain (berbakti kepada orang tua) lebih harus diprioritaskan untuk dikerjakan daripada hukum jihad. Sebab, pada waktu itu birrul walidain hukumnya fardhu ‘ain, sedangkan hukum jihad saat itu adalah fardhu kifayah.

Dari Abdullah bin Umar ia berkata, ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia meminta izin untuk berangkat jihad. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,

“Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”

Ia menjawab, “Ya, masih.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Maka berjuanglah (berbakti) kepada orang tuamu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


MEMPRIORITASKAN AMALAN TERKAIT HAK DENGAN MANUSIA DARI AMALAN TERKAIT HAK DENGAN ALLAH



Amalan-amalan yang hukumnya fardhu ‘ain jumlahnya sangat banyak sekali. Sementara syariat Islam menegaskan dalam banyak penjelasan betapa agungnya hukum-hukum yang berkaitan dengan hak-hak sesama manusia.

Amalan fardhu ‘ain yang berkaitan dengan hubungan seorang hamba dengan Allah ‘azza wajalla saja, masih terdapat ruang pemakluman. Lain halnya dengan amalan fardhu ‘ain yang berkaitan dengan hubungan hak-hak seorang hamba dengan sesamanya.

Sebagian ulama mengatakan,

حُقُوْقُ اللَّهِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُسَامَحَةِ وَحُقُوْقُ العِبَادِ مَبنِيَّةٌ عَلَى المُشَاحَّةِ

“Hak-hak Allah dibangun di atas prinsip permakluman (al-musamahah) dan hak-hak hamba dibangun di atas ketidakcukupan (al-Musyahhah).”

Contoh kasus, jika ibadah Haji itu hukumnya wajib, kemudian melunasi hutang juga hukumnya wajib, maka jika ada seorang muslim yang ingin melaksanakan Haji sementara ia memiliki hutang yang harus segera dilunasi, maka pelunasan hutang harus diutamakan.

Ia tidak boleh mendahulukan pelaksanaan ibadah Haji—meskipun hukumnya wajib, kecuali setelah mendapat izin dari orang yang dihutangi, atau masa tenggat pelunasan masih agak lama.

Ada banyak hadits yang mengisyaratkan fikih prioritas dalam persoalan hak antar sesama manusia ini. Di antaranya, hadits dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيْدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ

“Setiap dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim)

Mati syahid di jalan Allah ‘azza wajalla adalah puncak kemuliaan yang selalu diharapkan setiap muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla. Meski demikian, amalan mulia tersebut ternyata tidak bisa menggugurkan tanggungan hak sesama manusia berupa hutang.

Hadits tersebut dan juga hadits-hadits senada lainnya, menunjukkan bahwa syariat Islam sangat menjunjung tinggi dan memuliakan hak-hak antar sesama manusia, termasuk dalam urusan harta di mana seorang muslim tidak diperkenankan untuk mengambil tanpa ada hak dan memakannya dengan cara yang batil.


MEMPRIORITASKAN HAK-HAK JAMAAH DARI HAK-HAK INDIVIDU

Kewajiban-kewajiban yang terkait dengan kepentingan jamaah harus didahulukan dari kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan kepentingan individu.

Eksistensi individu tidak akan mampu bertahan kecuali dengan keberadaan jamaah. Manusia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Manusia akan tampak banyak memiliki kekurangan jika ia sendirian. Sebaliknya, ia akan tampak begitu sempurna—saling melengkapi—jika ia berada dalam sebuah jamaah. Jamaah dalam pengertian sekumpulan muslim yang memiliki kesamaan visi misi amal jama’i untuk meraih suatu kebaikan.

Itulah alasan mengapa kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan jamaah atau umat harus selalu didahulukan dari kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan individu.

Dari Abu Musa al-Asy’ari ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَطْعِمُوا الْجَائِعَ وَعُودُوا الْمَرِيضَ وَفُكُّوا الْعَانِيَ

“Berilah makan terhadap orang yang kelaparan, jenguklah orang sakit dan bebaskanlah tawanan.” (HR. Al-Bukhari)


MEMPRIORITASKAN LOYALITAS KEPADA UMAT DAN JAMAAH DARI LOYALITAS KEPADA SUKU DAN INDIVIDU


Dalam kehidupan masyarakat jahiliyah, fanatisme kesukuan berposisi sebagai prinsip persatuan dan faktor loyalitas tanpa peduli terhadap nilai-nilai kebenaran (al-Haq) atau keburukan (al-Batil). Slogan “Tolonglah saudaramu baik dalam posisi sebagai orang zalim ataupun orang yang dizalimi” mereka aplikasikan secara tekstual tanpa peduli substansi dan makna sebenarnya dari slogan tersebut.

Maka, dengan hadirnya Islam, loyalitas gaya masyarakat Jahiliah seperti itu langsung diperbaiki. Dalam prinsip Islam, loyalitas hanya diberikan kepada umat Islam dan memfungsikan loyalitas tersebut—berdasar petunjuk al-Quran dan as-Sunnah—untuk menegakkan agama Allah ‘azza wajalla sebagai saksi-saksi yang adil tanpa terhalangi oleh sentimen perasaan cinta karena kedekatan hubungan kekerabatan ataupun permusuhan terhadap musuh.

Allah ‘azza wajalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 135)

Keadilan harus tegak di atas seluruh bentuk sentimen. Keadilan harus berada di atas prinsip lillah (untuk Allah ‘azza wajalla), tanpa terpengaruh oleh kecenderungan perasaan cinta ataupun sikap ketidakadilan yang muncul karena faktor ketidaksukaan. (Bahan bacaan: Al-Khulashah fi Fiqhid Da’wah, Ali bin Nayif asy-Syahud) [Shodiq Alislami/Sumber: Majalah Fikih Islam Hujjah]
 
Source: https://www.dakwah.id/amalan-mana-yang-didahulukan

Hadits Maudhu’ Tentang Malam Nishfu Sya’ban yang Perlu Diketahui

 
Tak banyak yang tahu kalau ternyata amalan yang dikhususkan di malam nishfu Sya’ban itu dalilnya menggunakan hadits lemah, bahkan hadits maudhu’. Padahal, sebuah ibadah itu sudah semestinya diamalkan atas dasar keyakinan dan kebenaran akan adanya dalil shahih sebagai argumentasi. Tujuannya, agar ibadah tersebut benar-benar terjamin sesuai dengan syariat yang diturunkan Allah ‘Azza wa Jalla dan didakwahkan oleh rasul-Nya.

Bahkan, untuk memudahkan masyarakat Muslim memahami perkara keharusan beribadah atas dasar adanya dalil shahih, para ulama merumuskan sebuah kaidah,

اَلْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ التَّحْرِيْمُ

“Hukum asal amal Ibadah adalah haram.”

Maksud dari kaidah ini, seluruh bentuk ibadah itu harus memiliki dasar hukum atau dalil yang jelas dari syariat. Jika tidak, maka bentuk ibadah tersebut tidak boleh dilaksanakan.

Berikut ini kami tampilkan beberapa hadits maudhu’ tentang malam nishfu Sya’ban yang sering dijadikan dalil atas adanya amalan tertentu pada malam tersebut.

Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: يُعْطَى بِكُلَّ حَرْفٍ أَلْفُ أَلْفِ حَوْرَاء، وَمَنْ أَحْيَا سَاعَةً مِنْ سَاعَاتِ تِلْكَ اللَّيْلَة يُعْطَى بِعَدَدٍ مَا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ جَنَّات، فِيْ كُلِّ جَنَةٍ بَسَاتِيْنٌ وَيَرْفَعُ لَهُ تَعَالَى أَلْفَ أَلْفِ مَدِيْنَةٍ فِي الْجَنِّةِ، فِي كُلِّ مَدِيْنَةٍ أَلْفُ أَلْفِ قَصْرِ، فِي الْقَصْرِ أَلْفُ أَلْفِ دَارٍ، فِي الدَّارِ أَلْفُ أَلْفِ صفة، فِي الصفة أَلْفُ أَلْفِ وِسَادَةٍ وَأَلْفُ أَلْفِ زَوْجَةْ مِنْ الحُوْرِ، لِكُلِّ حَوْرَاءٍ أَلْفُ أَلْفِ خَادِمٍ، فِي الْبَيْتِ أَلْفُ أَلْفِ مَائِدَةٍ عَرْضُهَا كَمَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ إِلَى الْمَغْرِبِ، عَلَى كُلِّ مَائِدَةٍ أَلْفُ أَلْفِ قَصْعَةٍ، فِي كُلِّ قَصْعَةٍ أَلْفُ أَلْفِ لَوْنٍ

Abu Hurairah radhyallahu ‘anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada setiap huruf akan diberi sejuta bidadari. Barangsiapa menghidupkan satu jam saja dari waktu malam itu ia akan diberi sejumlah Jannah selama matahari dan bulan terbit. Pada tiap jannah itu terdapat banyak taman, kemudian Allah ‘Azza wa Jalla mendirikan sejuta kota di satu jannah. Pada setiap kota terdapat sejuta istana. Pada tiap istana terdapat sejuta ruangan. Pada tiap ruangan terdapat sejuta tenda. Di dalam tenda itu terdapat sejuta bantal dan sejuta istri dari kalangan bidadari. Setiap bidadarinya memiliki sejuta pembantu. Di dalam rumah tersebut terdapat sejuta meja hidangan yang luasnya seperti jarak antara timur dan barat. Di atas tiap meja hidangan terdapat sejuta mangkuk. Pada tiap mangkuknya terdapat sejuta warna.

Keterangan:

Imam adz-Dzahabi mengatakan bahwa ini hadits maudhu’. (Mizanul I’tidal, 3/566)

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللهَ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

“Jika datang malam pertengahan bulan Sya’ban, maka lakukanlah qiyamul lail, dan puasalah di siang harinya, karena Allah turun ke langit dunia saat itu pada waktu matahari tenggelam, lalu Allah berfirman, ‘Adakah orang yang minta ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni dia. Adakah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku akan memberi rezeki kepadanya. Adakah orang yang diuji, maka Aku akan selamatkan dia, dst…’ (Allah berfirman tentang hal ini) sampai terbit fajar.” (HR. Ibnu Majah, 1/421. HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 3/378)

Keterangan:

Hadits di atas diriwayatkan dari jalur Ibnu Abi Sabrah, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib, secara marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Hadits dengan redaksi di atas adalah hadits maudhu’ (palsu), karena perawi bernama Ibnu Abi Sabrah statusnya muttaham bil kadzib (tertuduh berdusta), sebagaimana keterangan Ibnu Hajar dalam kitab At-Taqrib. Imam Ahmad dan gurunya (Ibnu Ma’in) berkomentar tentang Ibnu Abi Sabrah, “Dia adalah perawi yang memalsukan hadits.”(Lihat Silsilah adh-Dha’ifah, no. 2132)


Hadits Ibnu Kardus

عَنِ ابْنِ كَرْدُوْسٍ، عَنْ أَبِيْهِ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَىْ الْعِيْدُ وَلَيْلَةَ النَّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لَمْ يَمُتْ قَلْبَهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ.

Dari Ibnu Kardus, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menghidupkan dua malam ‘Id (‘Idul Fitri dan Idul Adha) dan malam nishfu Sya’ban, hatinya tidak mati di saat semua hati itu mati.”

Keterangan:

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi, beliau menyatakan bahwa hadits ini tidak shahih dari Nabi. Imam adz-Dzahabi menyatakan hadits ini Munkar Mursal. (Al-‘Ilal al-Mutanahiyah, 2/562. Mizanul I’tidal, 3/308)

Sementara Ibnu Hajar mengomentari, “Di dalamnya ada perawi bernama Marwan, dia statusnya matruk muttaham bil kidzbi.” (Al-Ishabah, 3/290)


Hadits Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,

عَن معَاذ بن جبل رَضِي الله عَنهُ قَالَ قَالَ رَسُول اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْيَا اللَّيَالِي الْخمس وَجَبت لَهُ الْجنَّة: لَيْلَة التَّرويَة وَلَيْلَة عَرَفَة وَلَيْلَة النَّحْر وَلَيْلَة الْفطر وَلَيْلَة النّصْف من شعْبَان. رَوَاهُ الْأَصْبَهَانِيّ

Dari Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menghidupkan lima malam-malam ini, ia wajib masuk Jannah; 1) malam tarwiyah; 2) malam arafah; 3) malam Nahr; 4) malam Idul Fitri; dan 5) malam nishfu Sya’ban.”

Keterangan:

Hadits diriwayatkan oleh al-Ashbahani (At-Targhib wat Tarhib, Al-Munziri, 2/158) Syaikh Nashiruddin al-Albani menyatakan itu hadits maudhu’. (Dha’ifu at-Targhib wat Tarhib, no. 557) (M.Shodiq/dakwah.id)
 
Source: https://www.dakwah.id/hadits-maudhu-malam-nishfu-syaban

Teori Menghafal Hadits Untuk Kalangan Pelajar Ala Dr. Hambal Shafwan


Menghafal hadits merupakan cara klasik yang digunakan oleh para ulama terdahulu dalam meniti tangga thalabul ilmi, karena dengan menghafal hadits seseorang akan memiliki pondasi dalam menguasai fikih, Al-Quran, Akhlaq, dan lainnya.

Seorang dosen hadits, Dr. Muhammad Hambal Shafwan, Lc., M.Pd.I menawarkan beberapa teori yang harus diperhatikan agar sukses dalam menghafal hadits:


Pertama, membaguskan niat sebelum menghafal hadits

Niat yang ikhlas adalah kunci kebaikan, kemudahan, dan keberkahan dalam thalabul ilmi. Al-Khatib dalam kitab al-Jami’ li Akhlaqi ar-Rawi wa Adab as-Sami’ (1780) menukilkan sebuah atsar dari Ibnu Abbas, bahwa ia mengatakan,

إِنَّمَا يَحْفَظُ الرَّجُلُ عَلَى قَدْرِ نِيَّتِهِ

“Sesungguhnya kemampuan seseorang dalam menghafal itu tergantung kepada niatnya.”


Kedua, Menjauhi maksiat dalam proses menghafal hadits


Maksiat adalah penghalang terbesar seorang thalabul ilmi untuk mampu menghafal hadits dan menjaga hafalannya. Oleh karena itu Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan al-Ilmi (1195) menukilkan atsar dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia mengatakan,

إِنِّي لَأَحْسَبُ أَنَّ الرَّجُلَ يَنْسَى الْعِلْمَ قَدْ عَلِمَهُ بِالذَّنْبِ يَعْمَلَهُ

“Sungguh aku memiliki prasangka kuat bahwa seseorang lupa terhadap ilmu yang telah dipelajarinya adalah karena dosa yang ia perbuat.”


Oleh karena itu, Imam asy-Syafi’i mengatakan,

شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي

“Aku mengeluhkan jeleknya hafalanku kepada guruku (Waki’), lalu ia memberikan petunjuk kepadaku agar aku meninggalkan kemaksiatan, dan ia mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.”


Ketiga, Memilih waktu dan tempat yang tepat untuk menghafal hadits

Waktu dan tempat sangat memengaruhi keberhasilan seseorang dalam menghafal. Setiap orang lebih tahu akan dirinya kapan waktu yang tepat baginya untuk menghafal, karena setiap orang memiliki kesibukan yang berbeda.

Namun para ulama salaf menganjurkan untuk memilih waktu malam untuk menghafal, terlebih waktu sahar (sepertiga malam terakhir).

Al-Khatib dalam kitab Al-Jami’ (1873) menukilkan atsar dari Ismail bin Abu Uwais, bahwa ia mengatakan,

إِذَا هَمَمْتَ أَنْ تَحْفَظَ شَيْئًا فَنَمْ وَقُمْ عِنْدَ السَّحَرِ فَأَسْرِجْ وَانْظُرْ فِيهِ فَإِنَّكَ لَا تَنْسَاهُ بَعْدُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Jika engkau berkeinginan untuk menghafal suatu ilmu maka tidurlah (di awal malam), lalu bangunlah di waktu sahar, lalu nyalakan lampu, lalu lihat dan hafalkan (apa yang ingin engkau hafal), maka insya Allah engkau tidak akan lupa setelahnya.”

Adapun tempat yang tepat untuk menghafal hadits adalah tempat yang jauh dari keramaian dan tempat yang tenang seperti kamar, kelas, dan masjid.

Memilih masjid sebagai tempat menghafal adalah lebih utama, karena akan lebih khusyuk dan terlebih ia bisa langsung shalat sunah ketika sudah lelah menghafal dan akan kembali semangat setelahnya.


Keempat, Mengeraskan bacaan dalam menghafal hadits

Mengeraskan bacaan dalam menghafal hadits sangat membantu untuk lebih mempercepat hafalan masuk ke otak, karena beberapa anggota badan ikut berperan dalam menghafal, seperti mata fokus melihat ke kertas hafalan, lidah yang mengucapkan hafalan, dan telinga yang dipakai mendengar suara kita, maka hal itu lebih cepat dan kuat dalam melengketkan hafalan dalam otak.


Kelima, Memperkuat hafalan hadits dengan banyak mengulang bacaan dan hafalan

Menurut Ibnu Jauzi dalam kitab Al-Hatstsu ‘al Hifdzis Sunnah (49) bahwa metode untuk memperkuat hafalan hadits adalah dengan banyak mengulang, sementara manusia bertingkat-tingkat dalam hal menguatkan hafalan.

Ada orang yang hafalannya kuat dengan sedikit mengulang, ada pula orang yang tidak hafal kecuali setelah memperbanyak pengulangan.

Dahulu, Abu Ishaq asy-Syairazi mengulang pelajaran sampai 100 kali. Sementara Hasan bin Abi Bakr an-Naisaburi menuturkan,

لا يَحْصُلُ الْحِفْظُ إِلَيَّ حَتَّى يُعَادَ خَمْسِينَ مَرَّةً

“Saya tidak bisa hafal kecuali setelah saya mengulanginya sebanyak 50 kali.”


Hasan al-Bashri berkisah bahwa ada seorang ahli fikih banyak mengulang pelajaran di rumahnya, sehingga seorang nenek yang tinggal di rumahnya mengatakan, “Demi Allah, aku telah hafal.”

Kemudian Hasan al-Bashri mengatakan kepadanya, “Ulangilah!”, maka nenek tersebut bisa mengulanginya.

Setelah lewat beberapa hari, Hasan al-Bashri berkata kepada nenek tersebut, “Wahai nenek, ulangilah apa yang engkau dahulu hafal.”

Nenek tersebut menjawab, “Saya sudah tidak hafal.”

Maka Hasan al-Bashri mengatakan, “Oleh karena itu, saya senantiasa mengulangi hafalanku agar aku tidak lupa sepertimu.”


Keenam, Mengelompokkan hafalan Hadits


Imam Ahmad ketika ditanya bagaimana cara beliau menjaga hafalan hadits ratusan ribu, maka beliau menjawab, “Aku mengelompokkannya.”

Mengelompokkan hafalan adalah upaya menertibkan hafalan hadits agar lebih mudah dihafal dan diingat, karena seseorang yang memasukkan hafalan ke otaknya secara tertib maka ia akan mudah mengeluarkannya secara tertib pula.

Cara mengelompokkan bisa dengan berpatokan pada angka seperti menggunakan kelipatan lima, sepuluh, dan lainnya, atau mengelompokkannya per bab.

Ketujuh, Menyetorkan hafalan hadits kepada kawan atau pembimbing secara rutin


Untuk lebih mudah dan lebih istiqamah dalam menghafal hadits, maka seorang penghafal hadits harus secara rutin menyetorkan hafalannya kepada kawan atau pembimbingnya. Karena seseorang jika menghafal sendirian maka ia akan lebih cepat bosan dan putus asa.

Dengan adanya tempat menyetor hafalan hadits, maka kita akan diingatkan jika ada bacaan yang keliru, dan ada orang yang akan selalu menagih dan menyemangati kita agar bisa selesai pada target yang diinginkan.

Kedelapan, Menjaga hafalan hadits dengan senantiasa mengecek hafalan dan mengulanginya pada waktu yang berbeda

Hafalan walaupun kuat jika tidak pernah diulangi maka pasti lupa. Lupa adalah sifat bawaan manusia yang dibawa sejak lahir. Oleh karena itu, dengan sering mengecek hafalan hadits dan mengulanginya maka hafalan akan tetap terjaga.

Ada seseorang yang bertanya kepada al-Asma’i, “Bagaimana engkau bisa masih hafal, sedangkan temanmu yang lain sudah lupa?”

Ia menjawab, “Aku selalu mengulanginya sementara temanku meninggalkannya.”

Seorang penghafal hadits harus memiliki jadwal khusus untuk mengulangi hafalan hadits yang pernah dihafalnya, baik jadwal harian, pekanan, atau bulanan. Dengan demikian ia akan bisa selalu mengecek hafalan hadits yang ia miliki.


Kesembilan, Mengamalkan hadits yang telah dihafal


Mengamalkan hadits-hadits yang telah dihafal adalah termasuk bagian dari Ihya’us Sunnah (menghidupkan sunah). Di samping hafalan akan semakin kuat menghujam dalam otak jika kita mengamalkannya.

Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Jami’ Bayan al-Ilmi (1274) menukilkan sebuah atsar dari Sufyan ats-Tsauri, bahwa ia mengatakan,

الْعِلْمُ يَهْتِفُ بِالْعَمَلِ فَإِنْ أَجَابَهُ وَإِلَّا ارْتَحَلَ

“Ilmu itu memanggil untuk diamalkan. Jika panggilannya dijawab, maka ia akan tetap bersama pemiliknya, namun jika panggilannya tidak dijawab, maka ilmu itu akan pergi.”

Al-Khatib al-Baghdadi menukil perkataan dari Ismail bin Ibrahim yang diriwayatkan dari Imam Waki’ dalam kitab Al-Jami’ Li Akhlaqir Rawi, , 2/258, ia berkata,

كُنَّا نَسْتَعِينُ عَلَى حِفْظِ الْحَدِيثِ بِالْعَمَلِ بِهِ

“Kami membantu hafaan kami dengan mengamalkannya.” (Diadaptasi dari Hadits Arba’in Nawawiyah Untuk Hafalan, Penerbit Pustaka Arafah, Solo/Shodiq/dakwahi.id)
 
Source: https://www.dakwah.id/menghafal-hadits-untuk-pelajar

Menelisik Sumber Teks Doa Akhir Tahun dan Doa Awal Tahun Hijriyah

 
Di akhir bulan Dzulhijjah ini, beredar broadcast yang disebar melalui group-group whastapp, facebook, dan media sosial lain tentang anjuran membaca doa akhir tahun dan doa awal tahun Hijriyah dengan lafal tertentu dan dalam jumlah tertentu yang ditambah dengan pelaksanaan shalat dua rekaat dengan surat dan ayat yang dibaca secara khusus.

Sebagian broadcast yang beredar menyebutkan, redaksi doa tersebut bersumber dari Sibt Ibnu Jauzi dari Abu Umar bin Qudamah al-Maqdisi.

Sebagian lain menyebutkan redaksi doa itu bukanlah bersumber dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang riwayatnya dapat dipertanggungjawabkan.

Di sini lah persoalannya. Sebenarnya, dari mana redaksi doa itu berasal? Pada kesempatan kali ini, kami mencoba untuk menelusuri sumber redaksi doa akhir tahun dan doa awal tahun tersebut.


Kitab yang Menyebutkan Doa Akhir Tahun dan Doa Awal Tahun Hijriyah

Ada beberapa kitab yang menyebutkan adanya doa akhir tahun dan doa awal tahun Hijriyah. Ada yang berasal dari kitab milik aliran Syiah, dan mayoritas dari referensi-referensi aliran Sufi.

Dalam literatur aliran Syiah, doa akhir tahun dan awal tahun terdapat dalam kitab Iqbalul A’mali karya salah seorang tokoh Syiah, as-Sayyid Ali bin Musa bin Thawus, pada bab Amalan di Akhir Bulan Dzulhijjah halaman 862. Kitab ini diterbitkan oleh Muassasah al-A’lami, Lebanon. Cetakan pertama, 1417H/1996M.

Berikut ini redaksinya,

يصلى ركعتين بفاتحة الكتاب، وعشر دفعات سورة (قل هو الله احد) وعشر دفعات آية الكرسي، ثم تدعوا وتقول :

اللهم ما عملت في هذه السنة من عمل، نهيتني عنه ولم ترضه، ونسيته ولم تنسه، ودعوتني الى التوبة بعد اجترائي عليك، اللهم فانى استغفرك منه فاغفر لي، وما عملت من عمل يقربني اليك فاقبله منى، ولا تقطع رجائي منك يا كريم. قال: فإذا قلت هذا قال الشيطان: يا ويله ما تعبت فيه هذه السنة هدمه اجمع بهذه الكلامات وشهدت له السنة له السنة الماضية انه قد ختمها بخير .

أقول: ووجدت في بعض الكتب لفظ آخر بعد الصلاة في هذا اليوم وهوان يقول: اللهم ما عملت في هذه السنة من عمل صالح ووعدتني ان تعطيني عليه الثواب، فتقبله منى بفضلك وسعة رحمتك، ولا تقطع رجائي، ولا تخيب دعائي، اللهم وما عملت في هذه السنة مما نهيتني عنه، وتجرأت عليه، فانى استغفرك لذلك كله فاغفر لى يا غفور .

Di dalam buku itu disebutkan, doa akhir tahun dibaca setelah melaksanakan shalat dua rekaat dengan membaca al-Fatihah lalu membaca surat al-Ikhlash 10 kali dan ayat kursi 10 kali. Tidak disebutkan dari mana asal fikih shalat akhir tahun seperti ini; apakah ini petunjuk yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau bukan. Wallahu a’lam.

Abdurrahman bin Abdussalam bin Abdurrahman bin Utsman ash-Shafuri asy-Syafi’i juga menukil doa ini dalam bukunya Nuzhatul Majalis wa Muntakhab an-Nafa’is dengan redaksi,

اَللَّهُمَّ مَا عَمِلْتُ فِي هَذِهِ السَّنَةِ مِنْ عَمَلٍ، نَهَيْتَنِي عَنْهُ وَلَمْ تَرْضَهُ، وَنَسَيْتُهُ وَلَمْ تَنْسَهُ، وَحَمَلْتَ عَلَيَّ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِي وَدَعَوْتَنِي إِلَى التَّوْبَةِ مِنْهُ بَعْدَ جِرَاءَتِي عَلَى مَعْصِيَتِكَ، اَللَّهُمَّ يَا كَرِيْمُ يَاذَا الْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ اَنْ تَتَقَبَّلَهُ مِنِّيْ وَلاَتَقْطَعْ رَجَائِيْ مِنْكَ يَاكَرِيْمُ، وَصَلىَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِ نَا مُحَمَّدٍ وَّعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

قال الشيطان: تعبنا منه طول سنته فأفسده في ساعة واحدة وولى يحثو التراب على وجهه.


Kemudian, di dalam kitab Kanzun Najah was Surur fil Ad’iyatil Ma’tsurah Allati Tasyrahu ash-Shudur, karya Abdul Hamid bin Muhammad Ali bin Abdul Qadir Quds Al-Makki asy-Syafi’i (1277-1335H) halaman 298 yang diterbitkan oleh Darul Hawi, Beirut, cetakan pertama tahun 1430H/2009M juga disebutkan doa akhir tahun dengan redaksi sebagai berikut,

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

وَصَلىَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّم

اَللَّهُمَّ مَا عَمِلْتُ فِي هَذِهِ السَّنَةِ مِمَّا نَهَيْتَنِيْ عَنْهُ فَلَمْ اَتُبْ مِنْهُ وَلَمْ تَرْضَهُ وِلَمْ تَنْسَهُ وَحَلُمْتَ عَلَيَّ بَعْدَ قُدْ رَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِيْ وَدَعَوْتَنِيْ اِلَى التَّوْ بَةِ مِنْهُ بَعْدَ جُرْءأَ تِي عَلَى مَعْصِيَتِكَ فَاِنِّيْ اَسْتَغْفِرُكَ فَاغْفِرْلِيْ

وَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَاهُ وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهِ الثَّوَابَ فَاَسْئَلُكَ اَللَّهُمَّ يَا كَرِيْمُ يَاذَا الْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ اَنْ تَتَقَبَّلَهُ مِنِّيْ وَلاَتَقْطَعْ رَجَائِيْ مِنْكَ يَاكَرِيْمُ

وَصَلىَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِ نَا مُحَمَّدٍ وَّعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

(Kanzun Najah was Surur fil Ad’iyatil Ma’tsurah Allati Tasyrahu ash-Shudur, Abdul Hamid bin Muhammad Ali bin Abdul Qadir Quds Al-Makki asy-Syafi’i, 298)

Di halaman itu, penulis menuliskan sumber rujukan dimana ia menukil redaksi doa akhir tahun tersebut. Beliau menukil redaksi doa akhir tahun tersebut dari kitab Mujarabat ad-Dairabi halaman 71, dan Nu’atul Bidayat karya syaikh Ma’ul ‘Ainain Ibnu Syaikh Muhammad Fadhil Ibnu Mamin halaman 191-192.

Setelah kami merujuk langsung sumber referensi tersebut, kami temukan berdasarkan kitab sumber rujukan versi pertama yang kami pakai (versi pdf) doa akhir tahun dan awal tahun tersebut terdapat di halaman 87-88, bukan halaman 71.

Kitab versi pertama yang dapat diunduh gratis di website kupdf.net ini diterbitkan oleh percetakan Mushtafa Muhammad, pemilik Al-Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra di Mesir. Namun copy-an versi ini tidak mencantumkan edisi cetak dan tahun terbit.

Pada kitab Mujarabat ad-Dairabi versi kedua (versi PDF) doa akhir tahun dan doa awal tahun tersebut terdapat di halaman 56-57, bukan halaman 71. Pada copy-an kitab ini tidak tertera nama penerbit dan tahun terbitnya. Yang ada hanya stempel arsip tertanda kepemilikan oleh University of Toronto nomor 940077. Soft file kitab ini dapat diunduh secara gratis di sini.

Perbedaan halaman ini barangkali terjadi karena perbedaan penerbitan dan tahun terbitnya. Wallahu a’lam.

Tentang Sibt Ibnul Jauzi Perawi Teks Doa Awal Tahun dan Doa Akhir Tahun

Beberapa tulisan menyebutkan bahwa redaksi doa akhir tahun dan doa awal tahun Hijriyah yang ditulis oleh Ad-Dairabi dalam bukunya Mujarrabat itu diriwayatkan dari Sibt Ibnul Jauzi, dari Abu Umar Ibnu Qudamah al-Maqdisi.

Dalam mukaddimah kitab Mir’atuz Zaman fi Tarikhil A’yan disebutkan bahwa Sibt Ibnul Jauzi mengadakan perjalanan ke Baitul Maqdis. Di sana ia berkenalan dengan banyak ulama. Di antaranya adalah Abu Umar bin Qudamah al-Maqdisi (528-602H).

Inilah pertemuan pertama antara Sibt Ibnul Jauzi dengan Abu Umar bin Qudamah al-Maqdisi.


Dalam pertemuan itu, Sibt Ibnul Jauzi mendapatkan beberapa hadits dari Abu Umar bin Qudamah al-Maqdisi. Selain memberi hadits, Abu Umar bin Qudamah al-Maqdisi juga mengajarkan doa tahunan yang dikenal dengan doa akhir tahun dan doa awal tahun Hijriyah. (Mir’atuz Zaman fi Tarikhil A’yan, Yusuf bin Qiz’uli bin Abdullah Sibt Ibnul Jauzi (w. 654H), 1/11 Darul Kutub Al-Ilmiyah: Beirut)

Ternyata, dari sinilah sumber redaksi doa akhir tahun dan doa awal tahun tersebut.

Kemudian, siapa Sibt Ibnul Jauzi?

Sibt Ibnul Jauzi itu beda dengan Ibnul Jauzi. Banyak umat yang terkecoh dengan nama ini.

Nama asli Sibt Ibnul Jauzi adalah Abul Muzhafar Syamsuddin Yusuf bin Amir Hisamuddin Qiz’uli bin Abdullah.

Ia dilahirkan dan dibesarkan di Baghdad di bawah asuhan kakeknya yang bernama Abul Faraj Ibnul Jauzi. Kemudian ia pindah ke Damaskus dan menetap di sana. Ia meninggal tahun 654H.

Jadi, Sibt Ibnul Jauzi yang nama aslinya Yusuf bin Amir Hisamuddin Qiz’uli adalah cucunya Ibnul Jauzi.

Al-Hafidz adz-Dzahabi memberikan catatan terhadap kitab Mir’atuz Zaman fi Tarikhil A’yan. Ia berkata, “Sibt Ibnul Jauzi menulis kitab Mir’atuz Zaman, dan engkau akan melihat di dalamnya banyak hikayat-hikayat yang munkar. Kami tidak yakin dia tsiqah (terpercaya) dalam menukilnya, bahkan ia cenderung berat sebelah, lalu mempertaruhkan diri, dan akhirnya menjadi rafidhah.” (Mizanul I’tidal, 4/471)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkomentar, Dia menulis untuk memuaskan kepentingan manusia. Ia menulis untuk Syiah sebuah tulisan yang sesuai selera mereka agar mereka tertarik dengannya. Ia menulis tentang mazhab Abu Hanifah untuk memuaskan kepentingan para penguasa agar ia mendapatkan apa yang ia inginkan.

Oleh sebab itu, di dalam beberapa tulisannya ia mendiskreditkan Khulafaur Rasyidin dan sahabat lainnya dalam rangka mendekat (mudahanah) dengan paham Syiah. (Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah, 4/98)

Tentang Kitab Mujarrabat Ad-Dairabi yang Memuat Doa Akhir tahun dan Doa Awal Tahun


Kitab Mujarabat ad-Dairabi adalah kitab yang berisi penjelasan khasiat ayat-ayat tertentu dan doa-doa tertentu yang masing-masing diyakini memiliki kegunaan khusus yang beliau hasilkan dari percobaan-percobaan (Tajarrubah) di bidang pengobatan dan ruhani.

Kitab ini ditulis oleh Ahmad bin Umar ad-Dairabi, wafat tahun 1151H. Judul lengkap kitab tersebut adalah Fathul Mulukil Majid Al-Muallaf li Naf’il ‘Abid wa Qam’i Kulli Jabbarin ‘Anid. Penjelasan lengkap tentang briografi dan track record ad-Dairabi bisa dibaca di kitab Al-A’lam karya Az-Zarkali juz 1 halaman 188.

Tentang kitab Mujarabat ad-Dairabi, Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid memberi komentar yang cukup mengejutkan. Beliau menganggap kitab itu adalah kitab yang penuh dengan konten khurafat.

Setelah menelaah isi kitab tersebut, beliau sama sekali tidak mendapati teks yang manqul sumbernya dari para ulama salafush shalih, ulama ahli fikih, atau pun ulama ahli hadits.

Bahkan, beliau justru menemukan banyak konten batil yang ternyata banyak dijadikan rujukan oleh kitab-kitab sejenis yang penuh dengan khurafat dan kebatilan yang tidak boleh diyakini kesahihannya oleh setiap muslim, apalagi sampai mengamalkannya.

Memang, penulis kitab Mujarrabat tersebut tidak menyebutkan dalil shahih ketika menyebutkan khasiat ayat atau doa tertentu.

Selain itu, penulis juga menggunakan kata-kata yang menurut Syaikh Shalih al-Munajjid itu sulit dipahami.

Lembaga fatwa Lajnah Daimah juga pernah mendapatkan aduan yang mempertanyakan soal kredibilitas kitab Mujarabat karya Ahmad bin Umar ad-Dairabi ini.

Lembaga fatwa tersebut menyatakan bahwa kitab tersebut berisi amalan-amalan syirik dan doa-doa bid’ah. Oleh sebab itu tidak boleh mengambil dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya.

Markaz al-Fatwa islamweb.net menambahkan, kitab ad-Dairabi mengajarkan ilmu sihir padahal itu termasuk perbuatan haram dan kategori dosa besar.

Doa akhir tahun dan doa awal tahun ini juga disebutkan oleh seorang tokoh Sufi, Abdul Qadir al-Jailani dalam bukunya As-Safinah Al-Qadiriyah (terbitan Maktabah An-Najah, Libiya) halaman 84-85.

Abdul Qadir al-Jailani menyebut redaksi doa awal tahun dan doa akhir tahun tersebut bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan oleh Imam as-Suyuti dalam kitabnya Al-Jami’ al-Kabir. Namun, banyak yang mengatakan bahwa riwayat tersebut tidak dijumpai dalam kitab Al-Jami’ al-Kabir karya Imam as-Suyuti.


Lalu, Apakah Melantunkan Doa Akhir Tahun dan Doa Awal tahun itu Dilarang?


Prinsip yang perlu dimengerti dengan baik dalam persoalan ini adalah bahwa peringatan pada suatu kebaikan dan peribadatan kepada Allah ‘azza wajalla dengan segala macam bentuknya; Doa, istighfar, muhasabah diri, dan lainnya, pada asalnya adalah perbuatan yang disyariatkan.

Akan tetapi, Syaikh Khalid bin al-Mun’im ar-Rifa’i menjelaskan, ketika dalam mengamalkan itu terdapat pengkhususan waktu tertentu tanpa disertai dalil syar’i sebagai argumentasi atas pengkhususan itu, maka dikhawatirkan akan berdampak pada timbulnya persepsi dan berlanjut pada keyakinan bahwa pengkhususan itu adalah bagian dari sunnah, sehingga akhirnya itu menjadi suatu bid’ah idhafiyah sebagaimana disebutkan oleh Imam asy-Syathibi dalam kitab Al-I’tisham.

Maka, hendaknya seorang muslim menjauh dari sikap pengkhususan akhir tahun dan awal tahun Hijriyah dengan ibadah tertentu seperti doa tertentu, zikir tertentu, atau shalat tertentu dengan spesifikasi bacaan ayat tertentu.

Namun, jika membaca doa akhir tahun dan awal tahun tersebut hanyalah sebuah aktivitas insidental, bukan untuk dijadikan kebiasaan—sebab pembiasaan itu berdampak pada penyerupaan sebagai sunnah, dan konten doa tersebut tidak ada penyimpangan makna, maka boleh-boleh saja. Wallahu a’lam. [Shodiq Fajar/dakwah.id]
 
Source: https://www.dakwah.id/doa-akhir-tahun-awal-tahun-hijriyah